Sebetulnya bukan “tidak bagus”, tapi ada standar ideal yang terpaksa ditekan (kurang tepat juga kalau menyebut “dipangkas/kurangi”) sehingga pelayanannya tidak seperti standar RS pada umumnya.
Cost RS itu besar karena tetek bengeknya banyak. Saya pernah mendengar bahwa biaya modal untuk tissue di sebuah RS selama sebulan saja bisa mencapai puluhan juta. Makanya setiap barang yang dipakai pasien selalu dihitung ke dalam bill (misal: sarung tangan, jarum, plester, dsb).
Cost tersebut hrs ditekan karena biaya yg ditentukan asuransi ditekan pihak provider serendah mungkin. Praktiknya semua perusahaan asuransi sama saja kok. Mereka menawarkan database pasien (pelanggan asuransi mereka) ke RS/klinik, menentukan tarif yg bisa direimburse. Perusahaan asuransi memiliki hitungan tersendiri bagaimana kesanggupannya membayar risiko. Iuran yang dibayar nasabah dikelola melalui medium investasi dan kepemilikan aset. BPJS juga memakai prinsip serupa.
Lalu mengapa pelayanan ke pasien BPJS cenderung kurang bagus?
- RS/klinik harus berhemat karena penggantian yg ditentukan BPJS di bawah standar. Misal: biaya operasi usus buntu 8 juta. Modal kerja dan biaya jasa ideal total 4 juta, untung bersih jadi 4 juta. Yg diganti BPJS: 4,2 juta (nunggak bayar pula). Bayangin kerja cape² sesuai standar normal untung bersih cuma 200.000, bahkan kadang minus.
- Pasien membludak karena di BPJS “all you can treat”. Volume pasien besar, otomatis RS/klinik lebih sibuk. Bayangkan kalau RS punya 10 kamar kelas 1, semuanya dipakai pasien BPJS, untungnya cuma 2 juta (ambil contoh di atas). Ya mending jatahin 4 kamar doank buat BPJS karena dari 6 tersisa, sebuah RS bisa untung 24 juta (ingat, RS Swasta adalah perusahaan yg perlu profit buat hidup).
- BPJS sering telat bayar. RS harus jaga modal buat operasional sehingga tentu saja mendahulukan pasien yg membayar tarif normal.
Soal investasi yg saya singgung di atas, ini pilihan di mana saja BPJS Kesehatan bisa berinvestasi:
a. Deposito berjangka termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan satu bulan;
b. Surat berharga yang diterbitkan Negara Republik Indonesia;
c. Surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia;
d. Surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualberlikan secara luas dalam Bursa Efek Indonesia (BEI);
e. Saham yang tercatat dalam BEI;
f. Reksa dana;
g. efek beragun aset yang berdasarkan kontrak investasi kolektif;
h. Dana investasi real estate;
i. Penyertaan langsung; dan/atau
j. Tanah, bangunan, atau tanah dengan bangunan.
Lalu masalahnya apa?
Menurut saya BPJS jadi bermasalah karena ia berusaha menyenangkan semua masyarakat. Semua penyakit ditalangi dengan jumlah iuran yang kecil (dan sialnya belum semua warga ikut urunan membayar). Sebagai lembaga profesional, agar bisa survive BPJS harus bertindak seperti asuransi profesional: batasi penyakit yg ditanggung, perhitungkan kesanggupan membayar biaya yg bakal reimburse. Ini diperparah mental orang Indonesia yang “aji mumpung” karena BPJS mengcover hampir semua penyakit.
Penyakit karena lifestyle dan pilihan hidup seharusnya tidak ditanggung (termasuk melahirkan normal–sekarang sudah tidak ditanggung). Buat masyarakat ga mampu, buatkan KIS yg iurannya disubsidi pemerintah.
Tambahan:
BPJS menggunakan sistem kapitasi. Artinya jumlah iuran peserta dibayarkan ke RS/klinik per kepala setiap bulannya, tak peduli berapa pasien yg berobat. Contoh: yg daftar ke RS A ada 10.000 pasien. Per pasien kapitasinya 10.000. maka per bulan, si RS A mendapat 100 juta meski yg berobat hanya 100 pasien per bulan (kenyataannya ga mungkin begitu).
Buat dokter gigi, kapitasinya adalah Rp 2000 per pasien. Pembuatan gigi tiruan mendapat subsidi (pasien menambah sisa dari total biaya dikurangi yg disubsidi BPJS, ada nominal yg sudah ditetapkan). Sebagai bayangan, modal sepasang sarung tangan saja sudah mau 1.000. Belum lagi modal saliva ejector (selang untuk menyedot ludah). Jadi lupakanlah keuntungan jika jumlah kapitasi di bawah 5000. Dengan 5000 kapitasi, dokter gigi bisa mendapatkan 10 juta (@ Rp 2.000).
Namun berhubung operasional per pasien per visit pasti melebihi Rp 2000, pilihan yg bisa dilakukan si dokter/klinik gigi ada 2 agar bisa survive (syukur² untung):
- Batasi jumlah pasien agar cost tidak melebihi target keuntungan. Misal, jika kapitasi memberikan 10 juta, mau untung 4 juta, maka cost maksimal dalam bulan berjalan adalah 6 juta.
- Tekan cost, dengan cara mengirit pemakaian bahan. Bisa dengan memakai bahan² yang keterlaluan murahnya (tapi ga jelas kualitasnya), atau memakai kembali alat dan bahan yg masih bisa digunakan, misalnya saliva ejector tadi dibersihkan dan dipakai ulang. Jangan kaget membaca ini ya. Kenyataannya ada yang begitu, apalagi yg kapitasinya kecil.
Ga heran 35ribu dokter gigi mengancam akan keluar dari BPJS jika kapitasinya masih segitu.